POLITIK DALAM NEGRI
FENOMENA POLITIK KEKERABATAN PADA PELAKSANAAN
PEMILUKADA
Agenda pemilihan umum kepala daerah baik untuk memilih Gubernur dan wakil Gubernur, maupun untuk memilih bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota, telah dilaksanakan berbagai daerah. Pemilukada sudah berlangsung dari pertengahan tahun 2005. namun, hingga kini tidak mudah mengetajui berapa daerah yang telah melaksanakan pemilukada. Tidak ada data yang pasti terkait jumlah daerah yang telahmelakukan pemilukada. Otoritas resmi yang seharusnya memiliki data tersebut, seperti Departermen Dalam Negri dan Komisi pemilihan umum (KPU), pada website-nya
Tidak menampilkan data mengenai jumlah daerah yang melaksanakan pemilukada.
Sementara data yang ditampilkan data yang ditampilkan oleh media massa tidak sama.
Dari data yang di-release oleh jaringan pendidikan pemilih untuk rakyat (JPRR), pada tahun 2005 pemilukada telah dilakukan di 207 kabupaten/kota 7 provinsi. Sedangkan pada tahun 2006 pemilukada dilaksanakan di 70 kabupaten/kota 7 provinsi. Pemilihan kepala daerah baik di provinsi maupun kabupaten / kota di suatu sisi telah berjalan dengan semestinya. Namun , ada suatu sisi yang dinilai menodai demokerasi, yakni munculnya fenomena politik kekerabatan pada rekrutmen pejabat public pada pelaksanaan pemilukada. Fenomena munculnya politisi bersentimen kekerabatan diketemukan di berbagai daerah. Bursa pencalonan kepala daerah disemarkan dengan tampilnya sejumlah anak dan istri pejabat lama.
Politik Kekerabatan
Prihal melanjutkan kekuasaan politik berputar dikalangan kerabat pertahanan. Memang tidak melanggar hokum karena tidak diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Namum disuatu sisi praktek itu melanggar fastun politik yakni etika, kepatutan, dan norma umum, karena model itu akan menyumbat regenerasi pimpinan politik local berdasar pada kompetisi yang fair. Di sisi lain, kondisi ini juga menegaskan kepada kita, ada kecendrungan pertahanan sukar uuntuk melepaskan kekuasaan.
Dalam system demokerasi , memang tidak dikenal adanya “putra mahkota”. System demokerasi tidak menutup peluang seseorang untuk tampil menjadi seseorang pemimpin. Selama dirinya mendapat dukungan rakyat, maka selama itu pula dirinya bakal mampu menjadi pemimpin public/ kekuasaan berada ditangan rakyat, benar-benar mengemuka menjadi landaasan utama system demokerasi. Siapa pun dirinya, memiliki ‘hak’ untuk tampil menjadi pejabat public.
Ari Dwipayana dari universitas gajah mada, menyebut tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonalismetik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa system patrimonil yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system dalam menimbang prestasi.
Adalah hal yang ironi bahwa politisi yang bersistem kekerabatan ini sebagian terpilih pada pemilukada disebagian daerah. Hal ini, karena konservatisme masyarakat kita masih kuat. Masyarakat takut membuat pilihan berbeda, dan mereka ingin aman.
Politik kekerabatan ini lazim dijumpai pada masyarakat tribal-pastrol. Garis kekurangan merupakan garis penentu utama system kepemimpinan komunal, sekaligus menjadi pola pewarisan kekuasaan politik tradisional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar