Keadaan Kebahasaan di Indonesia dan Kendalanya
Dengan kedudukan
bahasa Indonesia yang istimewa, yaitu sebagai bahasa nasional dan bahasa
negara, warga masyarakat Indonesia, baik secara perseorangan (individual)
maupun secara kemasyarakatan (sosietal), merupakan warga masyarakat yang
bilingual/multilingual. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi
bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia juga tergolong ke dalam
yang disebut masyarakat diglosik dengan bahasa Indonesia sebagai “variasi
tinggi” dan bahasa daerah sebagai “variasi rendah” karena secara resmi dan
umum, BI dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah,
dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa
daerah.
Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih disebut bilingualitas. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme, termasuk di Indonesia..
Alih kode adalah
penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa secara berganti-ganti di dalam wacana
yang sama. Ini berarti bahwa si pembicara/bilingual itu beralih dari perangkat
sistem bahasa yang satu ke perangkat sistem bahasa yang lain, seperti dari BI
ke BD atau ke BA; dapat juga dari ragam formal ke ragam santai atau dari satu
dialek ke dialek lainnya. Dengan kata lain, penutur yang menggunakan alih kode
itu merupakan seorang bilingual tinggi (imbang). Alih kode terjadi karena
dorongan psikologis serta faktor sosial dan situasional, seperti tuntutan
suasana tutur, misalnya emosional, ingin berpamer/prestise, atau karena
identitas dan hubungan interlokutor, misalnya sama etniknya, atau karena
seting/domain peristiwa tutur dan topik pembicaraan dari yang resmi ke
takresmi; dari topik kedinasan ke topik umum, atau sebaliknya. Bentuk
linguistiknya bisa terjadi dalam tataran intra- dan antarkalimat; dalam
intrakalimat alih kode itu berupa frasa atau klausa; dalam antarkalimat berupa
kalimat
Campur kode berbeda
dari alih kode; campur kode adalah pengambilan elemen secara tetap dari bahasa
lain ke dalam bahasa yang sedang dipakai karena tidak ada elemen yang tepat
dalam bahasa yang dipakainya itu. Dengan kata lain, elemen yang diambil itu
milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat
untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh
faktor situasional. Bentuk linguistik campur kode yang paling tinggi, khususnya
di Indonesia, berupa leksikalisasi/terminologi. Di India terdapat
campur/pembauran kode antara bilingual Hindu dan Inggris yang disebut Hinglish;
di Filipina pembauran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris yang disebut
Taglish atau hula-hula atau mix-mix; di Hongkong pembauran antara bahasa Cina
dan Inggris yang disebut Cinglish; di Malaysia pembauran kode antara bahasa
Melayu dan Inggris yang disebut campur bahasa/language mixture. Di Indonesia
campur kode BI, BD, atau BA disebut bahasa gado-gado atau Indoglish.
Interferensi (pengacauan) terjadi sebagai akibat dari
adanya kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang
bilingual/ multilingual, yaitu perubahan bentuk bahasa sebagai akibat dari
penerapan dua buah sistem bahasa yang berbeda secara serempak pada seorang
bilingual/multilingual. Inteferensi terjadi pada semua tingkat unsur bahasa:
pada tata ucap, tata bentuk kata, tata kalimat, atau tata arti kata. Timbulnya
ragam bahasa takresmi dapat dikatakan sebagai akibat interferensi ini. Gejala
ini tidak menguntungkan bagi perkembangan BI karena mengacaukan norma BI.
Setakat ini amat terasa bahwa keadaan kebahasaan di negara kita yang bilingual/multilingual dan diglosik ini cenderung takstabil. Kenyataan menunjukkan bahwa fungsi bahasa-bahasa yang ada di Indonesia ini sudah saling berebut ranah penggunaan. Keadaan ini disebut sebagai kebocoran atau ketirisan diglosia. Sebenarnya, adanya dua bahasa atau lebih di dalam masyarakat tidak harus menimbulkan persaingan atau tidak perlu dipersaingkan oleh penutur, baik untuk dipakai maupun untuk dipelajari. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa bahasa Melayu, khususnya Melayu Betawi/dialek Jakarta dan BI takresmi/ragam atau bahasa gaul, yang tergolong ke dalam ragam rendah itu, kini cenderung mengambil alih ranah-ranah pemakaian bahasa Indonesia ragam tinggi, seperti di ranah pekerjaan, sekolah/kampus, radio, televisi, atau media yang lain. Dengan kata lain, bilingualisame/multilingualisme itu sendiri sudah menjadi permasalahan utama dalam penggunaan bahasa.
Setakat ini amat terasa bahwa keadaan kebahasaan di negara kita yang bilingual/multilingual dan diglosik ini cenderung takstabil. Kenyataan menunjukkan bahwa fungsi bahasa-bahasa yang ada di Indonesia ini sudah saling berebut ranah penggunaan. Keadaan ini disebut sebagai kebocoran atau ketirisan diglosia. Sebenarnya, adanya dua bahasa atau lebih di dalam masyarakat tidak harus menimbulkan persaingan atau tidak perlu dipersaingkan oleh penutur, baik untuk dipakai maupun untuk dipelajari. Akan tetapi, kenyataan memperlihatkan bahwa bahasa Melayu, khususnya Melayu Betawi/dialek Jakarta dan BI takresmi/ragam atau bahasa gaul, yang tergolong ke dalam ragam rendah itu, kini cenderung mengambil alih ranah-ranah pemakaian bahasa Indonesia ragam tinggi, seperti di ranah pekerjaan, sekolah/kampus, radio, televisi, atau media yang lain. Dengan kata lain, bilingualisame/multilingualisme itu sendiri sudah menjadi permasalahan utama dalam penggunaan bahasa.
Telitian tentang
kondisi kebahasaan dalam surat dinas, khususnya jika dipandang dari derajat
kebakuannya, juga memperlihatkan bahwa kualitas BI, khususnya ketatabahasaan
serta penulisannya, belum memenuhi kaidah yang baik dan benar. Permasalahannya,
seperti telah dikemukakan, antara lain, berkaitan dengan masalah bilingualisme;
kadar bilingualitas para pengonsep surat dinas belum imbang; penguasaan
terhadap sistem bahasa ibu/BD (seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, atau bahasa
Melayu) dan BA (seperti bahasa Inggris) lebih baik daripada penguasaan atas
sistem BI resmi/baku. Ini dapat ditandai dari kasus tingginya ikatan emosi
kultur bahasa ibu konseptor terhadap ragam BI dan pengaruh BA terhadap struktur
kalimat dan kosakata/istilah bahasa surat dinas.
Penggunaan dan
Pengguna Bahasa (Register) serta Ciri-Cirinya
Istilah penggunaan/pemakaian bahasa mengacu ke satu dimensi yang dipakai untuk membedakan ragam-ragam bahasa. Bahasa dibedakan menurut (1) penggunaan dan (2) penggunanya, yaitu siapa yang menggunakan bahasa itu. Sehubungan dengan penggunaannya, ragam bahasa dibedakan atas tiga subdimensi:
Istilah penggunaan/pemakaian bahasa mengacu ke satu dimensi yang dipakai untuk membedakan ragam-ragam bahasa. Bahasa dibedakan menurut (1) penggunaan dan (2) penggunanya, yaitu siapa yang menggunakan bahasa itu. Sehubungan dengan penggunaannya, ragam bahasa dibedakan atas tiga subdimensi:
1.
bidang/field, tentang apa bahasa itu
digunakan
2.
cara/mode, yakni medium apa yang digunakan:
lisan ataukah tulis
3.
tenor, yang mengacu ke hubungan peran
antarpartisipan yang terlibat.
Karena hubungan peran menentukan derajat keresmian bahasa yang dipakai oleh partisipan-partisipan itu, tenor dapat dipandang sebagai penentu tingkat keresmian situasi dan karena itu, tenor mengacu ke derajat keresmian bahasa yang dipakai di dalam situasi yang ada. Dalam hal ini tenor dilihat sebagai yang mengacu ke ragam-ragam bahasa menurut derajat keresmiannya. Di dalam bahasa Inggris, misalnya, dikenal lima ragam gaya keresmian berbahasa, yaitu ragam beku /frozen; ragam resmi/formal; ragam konsultatif/ consultative, ragam santai/casual, dan ragam akrab/intimate.
Karena hubungan peran menentukan derajat keresmian bahasa yang dipakai oleh partisipan-partisipan itu, tenor dapat dipandang sebagai penentu tingkat keresmian situasi dan karena itu, tenor mengacu ke derajat keresmian bahasa yang dipakai di dalam situasi yang ada. Dalam hal ini tenor dilihat sebagai yang mengacu ke ragam-ragam bahasa menurut derajat keresmiannya. Di dalam bahasa Inggris, misalnya, dikenal lima ragam gaya keresmian berbahasa, yaitu ragam beku /frozen; ragam resmi/formal; ragam konsultatif/ consultative, ragam santai/casual, dan ragam akrab/intimate.
Perpaduan atau sinergi dari ketiga dimensi tersebut (bidang, cara, dan
tenor) membentuk apa yang disebut laras bahasa (register), yaitu ragam bahasa
atau variasi bahasa yang dibeda-bedakan menurut
1. bidang wacananya (menurut pokok pembicaraan);
2. mediumnya (tulis atau lisan);
3. tenornya (ragam gaya resmi ataukah santai, dsb.)’
Pembeda antara laras bahasa yang satu dan laras bahasa yang lain ditandai oleh
1. bidang wacananya (menurut pokok pembicaraan);
2. mediumnya (tulis atau lisan);
3. tenornya (ragam gaya resmi ataukah santai, dsb.)’
Pembeda antara laras bahasa yang satu dan laras bahasa yang lain ditandai oleh
a.
penggunaan kosa kata dan peristilahan,
b.
struktur kalimat, dan pelafalan–kalau mediumnya lisan.
Dengan mengacu konsep dikemukakan di atas, bahasa di bidang kelilmuan, misalnya, tergolong ke dalam laras bahasa/register keilmuan; demikian pula halnya dengan bidang jurnalistik, di bidang administrasi perkantoran, di bidang hukum, dan politik. Akan tetapi, secara umum, pengguna bahasa itu adalah anggota masyarakat bahasa itu. Karena mereka itu terdiri dari kelompok-kelompok sosial, pengguna bahasa pada dasarnya adalah anggota setiap kelompok masyarakat yang ada. Dengan bergantung kepada dimensinya, pengguna bahasa dapat berupa anggota :
1. kaum lelaki/kaum perempuan,
2. kelompok pendidikan tertentu,
3. kelas sosial yang ada,
4. profesi tertentu (seperti guru, jurnalis, polititisi, atau akademisi),
5. daerah geografis tertentu,
6. kelompok umur tertentu,
7. (keanggotaan) mereka pada kasta tertentu,
8. etnik tertentu,
Dengan mengacu konsep dikemukakan di atas, bahasa di bidang kelilmuan, misalnya, tergolong ke dalam laras bahasa/register keilmuan; demikian pula halnya dengan bidang jurnalistik, di bidang administrasi perkantoran, di bidang hukum, dan politik. Akan tetapi, secara umum, pengguna bahasa itu adalah anggota masyarakat bahasa itu. Karena mereka itu terdiri dari kelompok-kelompok sosial, pengguna bahasa pada dasarnya adalah anggota setiap kelompok masyarakat yang ada. Dengan bergantung kepada dimensinya, pengguna bahasa dapat berupa anggota :
1. kaum lelaki/kaum perempuan,
2. kelompok pendidikan tertentu,
3. kelas sosial yang ada,
4. profesi tertentu (seperti guru, jurnalis, polititisi, atau akademisi),
5. daerah geografis tertentu,
6. kelompok umur tertentu,
7. (keanggotaan) mereka pada kasta tertentu,
8. etnik tertentu,